Ilustrasi penyembelihan hewan kurban di lembaga Sekolah (Dok.JurnalMediaNusa)
Oleh : Redaksi JurnalMediaNusa
Sebagai orang tua, saya sangat mendukung pendidikan karakter di sekolah, termasuk mengajarkan nilai-nilai kurban seperti keikhlasan, kebersamaan, dan empati terhadap sesama. Namun, ketika iuran kurban dijadikan kewajiban bagi seluruh siswa, saya merasa perlu menyampaikan keberatan.
Kurban adalah ibadah yang mulia, tapi juga bersifat sunah dan sangat personal. Menjadikannya sebagai kewajiban kolektif melalui iuran yang dibebankan kepada anak-anak, tanpa memperhatikan latar belakang ekonomi orang tua, justru bisa mengaburkan makna kurban itu sendiri. Anak bisa saja melihat kurban sebagai rutinitas tahunan yang harus dibayar, bukan sebagai bentuk pengorbanan dan ketulusan hati.
Tak semua keluarga mampu membayar iuran, dan tidak semua anak siap memahami kewajiban itu. Jika iuran kurban dijadikan indikator partisipasi, bagaimana dengan anak yang orang tuanya sedang kesulitan ekonomi? Apakah mereka akan merasa tertinggal, malu, atau bahkan dikucilkan?
Saya percaya, semangat kurban bisa tetap diajarkan tanpa harus membebani. Misalnya dengan kegiatan edukatif seperti menonton video tentang kisah Nabi Ibrahim, membuat proyek kelas bertema empati sosial, atau menggalang dana sukarela yang tidak diumumkan secara terbuka.
Mari kita jaga semangat kebersamaan dan keikhlasan itu, bukan dengan mewajibkan, tapi dengan mengajak. Karena pendidikan yang paling baik bukan yang memaksa, tapi yang menginspirasi.(Red)









