Ilustrasi gambar bullying di lingkup sekolah (Dok.JurnalMediaNusa/Red)
Oleh : Redaksi JurnalMediaNusa
Bullying atau perundungan di sekolah bukan sekadar masalah kecil yang bisa diabaikan. Ini adalah fenomena sosial yang merusak mental, emosional, bahkan masa depan anak-anak bangsa. Ironisnya, tindakan perundungan sering kali dianggap “biasa” atau “bagian dari proses tumbuh dewasa.” Padahal, tidak ada yang biasa dari penderitaan seorang anak yang merasa terisolasi, takut, dan tidak berdaya di tempat yang seharusnya menjadi ruang aman untuk belajar dan berkembang.
Banyak siswa menjadi korban bullying secara verbal, fisik, maupun melalui media sosial. Mereka dirundung karena perbedaan penampilan, latar belakang ekonomi, hingga orientasi. Sayangnya, banyak kasus yang tidak terlaporkan karena korban memilih diam, takut mendapat balasan, atau bahkan tidak mendapat dukungan dari pihak sekolah dan keluarga.
Sekolah memiliki peran vital dalam menghentikan budaya ini. Guru dan staf harus diberi pelatihan untuk mengenali tanda-tanda bullying dan bertindak tegas. Tidak kalah penting, sekolah harus menanamkan nilai empati, toleransi, dan keberanian untuk berbicara melalui kurikulum maupun kegiatan ekstrakurikuler.
Orang tua pun harus aktif memantau kondisi emosional anaknya. Komunikasi terbuka dan penuh kasih dapat menjadi pertahanan awal melawan dampak negatif bullying. Selain itu, masyarakat luas juga harus menciptakan budaya yang menolak kekerasan dalam bentuk apa pun, termasuk kekerasan verbal dan emosional.
Menghentikan bullying bukan tugas satu pihak. Ini tanggung jawab bersama guru, orang tua, siswa, dan masyarakat. Setiap anak berhak mendapatkan lingkungan belajar yang aman, mendukung, dan penuh kasih. Mari kita bersuara, mari kita bertindak. Karena diam adalah bentuk dukungan terhadap kekerasan.
