Gambar ilustrasi Orang tua siswa merasa keberatan dengan anjuran pembelian buku penunjang pembelajaran di SMPN 2 Ngawi. (Dok.JurnalMediaNusa)
Ngawi (JurnalMediaNusa) – Sejumlah orang tua murid SMP Negeri 2 Ngawi mengeluhkan anjuran sekolah agar siswa membeli buku penunjang pembelajaran. Meski sekolah tidak secara resmi mewajibkan, buku penunjang itu tetap dipakai guru dalam proses belajar mengajar.
Orang tua merasa tertekan dengan kondisi tersebut. Mereka mengaku harus membeli agar anak-anak mereka tidak tertinggal materi pelajaran.
“Mau tidak mau ya harus beli. Meskipun katanya tidak diwajibkan, tapi guru bilang buku yang dipakai ya itu. Kalau tidak beli, kasihan anaknya. Kalau ada tugas harus pinjam atau menyalin dari temannya. Untuk kelas VIII, harga satu paket buku penunjang mencapai Rp1,2 juta,” ungkap Siti, salah satu wali murid saat dikonfirmasi.

Ia mempertanyakan alasan sekolah yang masih mengandalkan buku penunjang, padahal pemerintah sudah menyediakan buku paket resmi. “Sudah ada buku paket dari sekolah, kenapa harus membeli buku penunjang lagi? Dan yang dipakai justru buku penunjangnya ketika proses belajar,” tambahnya.
Praktik ini menimbulkan dilema bagi wali murid. Secara aturan, Permendikbud Nomor 8 Tahun 2016 menyebut sekolah wajib menggunakan Buku Teks Pelajaran (BTP) dari pemerintah. Buku penunjang hanya bersifat tambahan dan tidak boleh diwajibkan. Selain itu, dana BOS seharusnya dapat dipakai untuk pengadaan buku sehingga biaya tidak jatuh ke orang tua.
Kasus di SMPN 2 Ngawi memperlihatkan celah antara regulasi dan praktik di lapangan. Meski tidak ada kata “wajib”, orang tua tetap merasa terpaksa membeli. Harga yang tinggi semakin menambah beban keluarga, terutama yang berpenghasilan menengah ke bawah.
Situasi ini menunjukkan pentingnya pengawasan dinas pendidikan terhadap praktik jual-beli buku di sekolah negeri. Tanpa kontrol ketat, orang tua dan siswa berisiko terus menanggung biaya tambahan yang seharusnya bisa dihindari dalam sistem pendidikan gratis. (Rek)










