Petugas Kejari Ngawi mengawal seorang perempuan usai menjalani pemeriksaan. (Dok.JurnalMediaNusa)
Ngawi (JurnalMediaNusa) – Aroma kejanggalan menyelimuti penetapan tersangka Notaris Nafiaturrohmah dalam kasus dugaan gratifikasi pembebasan lahan PT GFT. Kuasa hukum Nafiaturrohmah, Heru Nugroho, menyebut langkah Kejaksaan Negeri (Kejari) Ngawi cacat hukum karena penuh pelanggaran prosedur dan indikasi pemaksaan.
Heru menegaskan, Kejari menabrak aturan sejak awal. Penyidik tidak mengantongi izin pemeriksaan dari Majelis Kehormatan Notaris (MKN) sebagaimana diamanatkan Pasal 66 UU Jabatan Notaris. Ia juga menemukan penerbitan dua Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) dan dua surat perintah penyidikan (sprindik). Bahkan, Kejari diduga mengabaikan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130 yang mewajibkan penyampaian SPDP maksimal tujuh hari.
“Proses hukum ini janggal sejak hulu sampai hilir. Klien kami ditetapkan tersangka dengan cara yang menabrak aturan,” ujar Heru dengan nada tegas.
Kini, Kejari Ngawi harus berhadapan dengan gugatan praperadilan di Pengadilan Negeri Ngawi. Gugatan yang terdaftar dengan nomor perkara 1/Pid.Pra/2025/PN Ngw itu seharusnya mulai disidangkan Senin (15/9/2025). Namun, sidang perdana batal lantaran Kejari tidak hadir. Majelis hakim akhirnya menunda agenda dan menjadwalkan ulang pada Selasa (16/9/2025).
Ketidakhadiran Kejari dalam sidang perdana langsung menuai kritik. Sejumlah kalangan menilai sikap itu melemahkan citra penegakan hukum dan berpotensi menggerus kepercayaan publik. Sorotan publik semakin tajam karena perkara ini menyangkut proyek pengadaan lahan bernilai besar yang menyeret pejabat politik maupun pejabat publik.
Sidang praperadilan ini akan menjadi ujian serius. Publik menunggu apakah Kejari Ngawi mampu menjawab tudingan kejanggalan atau justru semakin memperlihatkan retaknya transparansi hukum di daerah.(Saa)